BUAH
DARI KEYAKINAN
Cerpen pertama saya yg baru dipublikasikan...
Karya Annisa Rizka Viana
HAPPY READING^^
Di
suatu senja, duduk termenung seorang anak perempuan berwajah manis di danau.
Gadis yang berkulit putih dan berambut hitam bernama Tuti itu tampak
merenungkan sesuatu. Ditatapnya langit sore yang indah. Wajahnya agak berbinar
ketika seorang lelaki paruhbaya menghampirinya. Dialah Pak Narto, ayah Tuti
yang selalu tersenyum dalam keadaan apapun.
“Sedang
apa kau Tuti?” Tanya ayahnya sambil tersenyum.
“Aku
hanya memandang langit senja yang indah ini yah.. !” Jawab Tuti.
“Sepertinya
kau sedang memikirkan sesuatu, coba beritahu Ayah !” Ucap Ayah Tuti.
“Aku....
aku hanya... merindukan Ibu.” Jawab Tuti tersendat-sendat.
Sejak
Ibunya meninggal satu tahun yang lalu, Tuti memang suka menyendiri dan merenung
di danau. Bahkan kadang ia menghayal bahwa Ibunya sedang berdiri di atas air
dan berjalan menuju tempatnya duduk. Ketika ia tersadar, wajahnya tampak
kecewa. Dan saat itulah Ayahnya muncul untuk menemaninya.
Sepulang
dari danau, Tuti memandangi ijazah SD miliknya. Sebentar lagi pendaftaran di
SMP yang ada di kotanya akan ditutup. Sementara ia bingung harus melanjutkan
sekolah atau tidak. Ijazahnya menunjukkan nilai 28,50. Nilai yang tinggi
diantara teman-temannya. Saat itu Ayahnya mencari uang untuk membiayai sekolah
Tuti.
Ayah Tuti memang sedang tidak punya uang.
Karena semua uangnya telah digunakan untuk membiayai sekolah kakak Tuti di
Australia. Kalau saja Anto (kakak Tuti) tidak hidup mandiri, maka mungkin saja
Ayahnya tidak bisa membiayai kuliahnya hingga akhir. Untuk mencari uang saku
dan membeli peralatan kuliah, Anto bekerja paruh waktu di sebuah kedai kopi
yang kebetulan milik orang Indonesia. Uang yang ia dapat cukup untuk membeli
alat sekolah dan makan sehari-hari di sana. Bahkan ia mendapat teman-teman baru
yang berasal dari Indonesia, walaupun berbeda kota dan pulau.
Setelah
lulus kuliah, Anto mencoba mencari pekerjaan di Australia. Dan ia harus
berjuang hidup di sana. Karena Ayahnya sudah tak mengirimkan uang lagi.
Sedangkan Tuti harus merelakan berhenti sekolah karena tak ada biaya.
“Tuti,
maafkan Ayah ya... Ayah tak bisa membiayai sekolahmu.” Ucap Ayah Tuti yang
tiba-tiba berada di belakang Tuti.
“Ahh,
tak apa Yah.. barangkali memang ini takdirku.” Balas Tuti, walaupun ia yakin
bahwa seseorang akan menolongnya. Dan ia yakin Kakaknya lah seseorang itu.
Tiba-tiba
air mata berlinang dari mata kecil Tuti. Dengan cepat ia menghapus air mata itu
dengan kedua tangannya. Hal itu membuat Ayah Tuti bersedih, lalu dengan hati
yang gundah Pak Narto memeluk anak bungsunya itu.
Sehari
telah berlalu, hari ini adalah hari penutupan pendaftaran di semua SMP yang ada
di kotanya. Tuti mencoba untuk tidak memikirkan hal itu. Tiba-tiba telepon
berdering, lalu Tuti bergegas menuju tempat telepon. Ia berharap telepon itu
dari Kakaknya.
“Halo,
dengan siapa ini?” Tanya Tuti memulai pembicaraan.
“Maaf,
bisa saya bicara dengan Tuti?” Balas seseorang di seberang sana.
“Iya,
saya sendiri. Ini siapa ya?” Tanya Tuti.
“Saya
dari SMP Nusa Bangsa, begini Dek Tuti. Karena nilai Dek Tuti terbaik kedua di
kota ini, jadi Adek berhak mendapat beasiswa di SMP Nusa Bangsa.” Jawab
seseorang itu.
“Ahh??
Benarkah? Ini tidak bergurau kan??” Ucap Tuti penasaran.
“Tentu
tidak Dek Tuti, asalkan nilaimu nanti tidak menurun, beasiswa itu tetap
milikmu.” Balas seseorang itu.
Mendengar
hal itu Tuti girang bukan main. Ia menghampiri Ayahnya lalu memeluk lelaki
paruhbaya itu. Dengan bangga ia menceritakan apa yang baru saja terjadi. Dan
tak ia sangka, Ayahnya meneteskan air mata bahagia karena bangga melihat putri
kecilnya sekarang bisa menyenangkan hatinya.
Esoknya,
Tuti pergi ke sekolah barunya dengan mengenakan seragam SD lamanya. Wajahnya
tampak berbinar-binar. Seperti anak-anak lainnya, ia mencoba berkenalan dengan
teman-teman barunya. Ia sangat bersemangat, karena ia tahu bahwa seseorang yang
tekun dan yakin pasti ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Begitu pula
dengan yang ia alami.
copy?? sertakan cr. okee :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar